Di tepi sungai Chao Phya, dekat Bangkok, hidup dua orang kakak beradik yang bernama Jomroon dan Daeng. Mereka diajar oleh guru yang sama selama bersekolah. Setelah selesai bersekolah, mereka memutuskan untuk pergi mencari nafkah di Bangkok. Di perjalanan, mereka melewati hutan lebat. Daeng melihat jejak kaki seekor gajah dalam perjalanan tersebut. “Ini adalah jejak kaki seekor gajah jantan, yang mata kirinya buta,” ia memberi tahu kakaknya.
“Bagaimana kamu tahu?” tanya Jomroon. “Aku hanya bisa melihat bahwa jejak tersebut adalah jejak seekor gajah yang bergerak dari selatan ke utara,” katanya heran. Tetapi Daeng diam tak menjawab. Ia tidak ingin kakaknya merasa ia lebih pintar dari kakaknya. Setelah beberapa saat berjalan, mereka melihat seekor gajah besar sedang makan pisang. Ketika gajah tersebut melihat mereka, ia mengangkat belalainya, mengeluarkan suara besar, lalu lari ke dalam hutan. Sebelum gajah tersebut lari, Jomroon melihat bahwa mata kiri gajah tersebut buta.
Jomroon berkata pada dirinya sendiri “Bagaimana Daeng bisa begitu pandai? Padahal kami berdua bersekolah di sekolah yang sama, belajar pada guru yang sama,” pikirya.
Setelah bekerja dua tahun di Bangkok, Jomroon dan Daeng pulang ke kota mereka. Mereka berkunjung ke rumah guru mereka. Keduanya membawakan dua periuk minyak sayur dari Bangkok untuk beliau. Ketika mereka sedang berbincang-bincang, Jomroon teringat tentang peristiwa gajah buta di hutan. Ia bercerita pada sang guru.
“Bagaimana Daeng tahu bahwa gajah tersebut jantan dan mata kirinya buta?” ia bertanya pada sang guru.
Sang guru menjawab dengan bijak. “Jomroon, apakah kamu sadar bahwa periuk minyak sayur yang kamu bawa kepadaku hanya setengah penuh?” tanyanya. “Iya,” jawab Jomroon. “Aku pun terkejut, karena periuk tersebut masih terisi penuh ketika aku membelinya di Bangkok,” ujarnya.
“Apakah kamu memperhatikan bahwa periuk minyak yang Daeng bawakan untukku masih terisi penuh? Ini terjadi karena Daeng memilih periuk yang lebih tebal, sehingga minyak tidak mudah merembes ke luar,” jawab sang guru.
“Bagaimana kamu tahu?” tanya Jomroon. “Aku hanya bisa melihat bahwa jejak tersebut adalah jejak seekor gajah yang bergerak dari selatan ke utara,” katanya heran. Tetapi Daeng diam tak menjawab. Ia tidak ingin kakaknya merasa ia lebih pintar dari kakaknya. Setelah beberapa saat berjalan, mereka melihat seekor gajah besar sedang makan pisang. Ketika gajah tersebut melihat mereka, ia mengangkat belalainya, mengeluarkan suara besar, lalu lari ke dalam hutan. Sebelum gajah tersebut lari, Jomroon melihat bahwa mata kiri gajah tersebut buta.
Jomroon berkata pada dirinya sendiri “Bagaimana Daeng bisa begitu pandai? Padahal kami berdua bersekolah di sekolah yang sama, belajar pada guru yang sama,” pikirya.
Setelah bekerja dua tahun di Bangkok, Jomroon dan Daeng pulang ke kota mereka. Mereka berkunjung ke rumah guru mereka. Keduanya membawakan dua periuk minyak sayur dari Bangkok untuk beliau. Ketika mereka sedang berbincang-bincang, Jomroon teringat tentang peristiwa gajah buta di hutan. Ia bercerita pada sang guru.
“Bagaimana Daeng tahu bahwa gajah tersebut jantan dan mata kirinya buta?” ia bertanya pada sang guru.
Sang guru menjawab dengan bijak. “Jomroon, apakah kamu sadar bahwa periuk minyak sayur yang kamu bawa kepadaku hanya setengah penuh?” tanyanya. “Iya,” jawab Jomroon. “Aku pun terkejut, karena periuk tersebut masih terisi penuh ketika aku membelinya di Bangkok,” ujarnya.
“Apakah kamu memperhatikan bahwa periuk minyak yang Daeng bawakan untukku masih terisi penuh? Ini terjadi karena Daeng memilih periuk yang lebih tebal, sehingga minyak tidak mudah merembes ke luar,” jawab sang guru.